Kamis, 04 April 2013

MALAIKAT KECIL

             Awan senja masih menghiasi langit saat itu, namun perlahan-lahan tetesan air hujan mulai menyerbu bumi. Di sebuah kamar milik Rumah Sakit Tangerang, seorang gadis berambut panjang tampak tak berkedip melihat indahnya hujan. Perlahan senyum manisnya kembali terukir meski diiringi dengan air mata. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, cairan berwarna merah perlahan mengalir dari hidungnya membuat ia sulit bernafas.
“Bia....!” teriak seorang wanita paruh baya sambil berlari menghampiri sosok putrinya yang sudah tak berdaya.
“Dokter, tolong anak saya!” pekik Nyonya Anggi.
Seorang dokter dengan dua suster, segera menghampiri Bia. Nyonya Anggi menunggu di luar dengan penuh kecemasan.
“Mah, Bia kenapa lagi?” tanya Kikan. Nyonya Anggi menggeleng pelan, Kikan memeluk tubuh ibunya yang bergetar.
“Sabar ya Mah, Bia pasti sembuh”ujar Kikan. Nyonya Anggi tersenyum dan mengangguk.

Selang beberapa waktu, sepoi angin membelai lembut wajah Bia yang pucat pasi. Hari ini baru saja ia keluar dari rumah sakit. Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali tinggal dirumahnya sendiri.
“Mah, Bia udah nggak sakit, kalau mama ga percaya lihat deh, Bia bisa loncat-loncat”. Ujar Bia berloncat-loncat riang di depan mamanya. Nyonya Anggi menatap pilu gadis kecil yang kini tengah tersenyum ke arahnya terancam oleh sebuah penyakit mematikan.
“Bia...... sudah...sudah, Mama tahu kamu baik-baik saja, ayo sekarang kamu tidur!”
“Kalau gitu, besok Bia boleh sekolahkan, Ma?” tanya Bia ada harapan indah di matanya.
“Bia kan belum sehat betul”. Ujar sang Mama.
“Tapikan kangen sama temen-temen Bia”. Ujar Bia.
“Boleh ya Mah....Bia janji besok Bia bakal makan yang banyak deh, biar nggak sakit”. Tambahnya. Nyonya Anggi tidak berani menolak lagi, ia tidak tega melihat gadis kecilnya menangis. Bia Keyla Putri, adalah nama gadis kecil yang tengah duduk di kelas 4 SD. Namun meski ia masih terbilang muda, ia sudah mampu berfikir dewasa. Ia seorang gadis periang penuh canda tawa, pintar dan baik hati, tutur katanya sopan dan menyenangkan.
Bia adalah seorang gadis yang mengidap penyakit “Leukemia”, namun masih bisa tersenyum deemi menghapus air mata ibu, ayah dan kakaknya. Ia adalah seorang gadis manis yang harus menerima beribu-ribu kenyataan yang pahit. Kenyataan tentang penyakitnya dan kenyataan akan ayahnya yang sudah tidak peduli pada dirinya.
“Mah, Papa mana?” tanya Bia. Nyonya Anggi tersenyum dan membelai lembut kepalanya.
“Aku kangen Papa”. Ujar Bia kembali.
“Iya sayang, nanti pasti Papa akan pulang”. Ujar Nyonya Anggi dengan senyum palsunya.
“Ayo lekas, kamu harus masuk sekolah”. Bia tersenyum dan mengangguk.

Sesampainya di sekolah.
“Hallo Bia, kamu sudah sembuh?” tanya Putra teeman sekelasnya. Bia tersenyum dan mengangguk.
“Emang kamu sakit apa? Kok lama banget nggak masuk kelas?” ujar Putra sekali lagi.
“Aku nggak sakit apa-apa kok” ujar Bia riang.
Bu Valita pun masuk kelas dan memulai pelajaran.
“Baik anak-anak, sekarang kalian tuliskan cita-cita kalian di kertas, kemudian bacakan di depan kelas!” perintah Bu Valita.
“Ayo, siapa yang sudah selesai?” ujar Bu Guru.
“Aku Bu.....!” teriak Bia.
“Ya, Bia... ayo bacakan cita-citamu!”
“Hmm....., namaku Bia Keyla Putri. Cita-citaku ingin jadi penyanyi terkenal, yang bisa mendapatkan banyak uang, biar bisa jalan-jalan sama mama, papa dan kak Kikan. Aku juga mau jadi dokter, biar bisa mengobati orang sakit. Bia menghela nafas panjang, sedikit genangan air di matanya yang indah. Bu Valita menunduk dalam, setetes air mata membasahi pipinya yang lembut.
“Dan terakhir, aku mau mama, papa bisa kembali ada di sisiku dan kak Kikan”. Ujar Bia.
“Bia, emangnnya papa kamu kemana?” tanya Rahel polos, Bia menunduk dan menggeleng pelan.
“Papa Bia, sama Papa Cinta sama ya?” tanya Belia lugu.
“Nggak! Papaku dan papanya Bia nggak sama!” ujar Cinta. Kelas menjadi hening, Bia menatap Cinta takut. Bu Valita selaku guru langsung menenangkan mereka.
“Baiklah, ayo siapa lagi yang ingin membacakan cita-citanya lagi?”
“Aku Bu...!” teriak Putra. Bu Valita mengangguk setuju.
Namaku Frengki Saputra. Cita-citaku ingin selalu ada di sisi Bia. Kelas menjadi gaduh akibat teriakan anak-anak itu. Bia tersenyum manis. “Tidak apa-apakan Bu?” tanya Putra.
“Iya, tidak apa-apa kok” Putra pun kembali duduk di kursinya.
“Kamu mau selalu ada di sisi aku?” tanya Bia, Putra mengangguk mantap.
“Kalau aku mati gimana?” tanya Bia lagi. Putra tersenyum manis. “Kamu ga boleh mati!” ujar Putra. Bia hanya bisa tersenyum menghadapi kata-kata Putra. Karena ia sendiri pun tidak tahu sampai kapan ia akan bertahan.
“Papa...!”teriak Bia saat melihat sosok Tuan Hanif di dalam rumahnya. Namun belum sempat ia masuk rumah, sebuah teriakan tengah menggema di rumah itu. Memantul dari dinding-dinding yang bisu hingga menghiasi pendengaran Bia. Mama dan Papanya kembali bertengkar. Entah tentang apa. Bia terduduk lesu di depan pintu rumahnya. Ia enggan melihat wajah papanya yang begitu menyeramkan.
Tiba-tiba hujan deras mulai turun, kilatan petirpun menghiasi langit yang mendung. Meski takut, Bia tak berniat pergi. Ia biarkan air hujan yang mengguyur tubuhnya hingga basah kuyup. Bia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya. Kemudian menuliskan sesuatu. Perlahan cairan merah itupun kembali mengalir. Cepat-cepat Bia langsung menutup bukunya, karena takut ternodai oleh darah itu. Hujan semakin deras, kilat terus menyambar menghiasi penglihatan gadis kecil yang tengah melawan rasa sakitnya yang tiada tara.
“Bia....!” teriak Kikan. Ia berlari menghampiri Bia yang tak berdaya.
“Ma, Mama!” teriak Kikan, Nyonya Anggi langsung keluar disertai oleh Tuan Hanif.
“Ma, Bia Ma!” ujar Kikan hampir menangis.
“Kikan, cepat ambil mobil!” ujar mama. Kikan segera mengambil mobil di garasi, Tuan Hanif hanya terpaku melihat putri periangnya tak berdaya.
“Pa... Papa!” ujar Bia pilu, setetes air mata menghiasi di wajah Tuan Hanif.
“Bia sabar ya Nak!” mamanya membelai lembut kepala sang putri tercintanya. Dan tak lama kemudian Kikan datang dengan jas birunya dan segera membawa Bia ke rumah sakit di Tangerang.
Lagi-lagi kamar putih bersih milik rumah sakit yang mennjadi sahabatnya, kalau bukan yangg membuat mamanya merasa lega, ia ingin tinggal disini. Tiba-tiba seorang dokter masuk untuk memeriksa Bia.
“Dok... Papa sama Mama mana?” tanya Bia.
“Lagi nebus obat Bi...” ujar dokter itu bijak.
“Dokter, Bia boleh meminta sesuatu?” dokter farel tersenyum dan mengangguk.
“Dok.... kalau seandainya Bia mati, tolong kasih buku ini ke Papa”.
“Nggak Bia... pasti Bia sembuh...”
“Dokter Bia bukan anak kecil lagi, Bia tahu sebesar apa pengaruh penyakit itu terhadap Bia”. Dokter Farel menelan ludahnya yang sangat amat terasa pahit.
“Dokter.... terima kasih yah, Dokter sudah mau menjaga Bia”. Bia menatap mentari yang perlahan beranjak ke atas.
“Bia seneng deh bisa melihat mentari lagi. Tapi mungkin ini yang terakhir kalinya dok, kalau Bia mati tolong sapa mentari itu yah.  Dan sampaikan salam Bia buat dia. Oh iya dok, dokter tahu kenapa bintang selalu menemani bulan?” dokter Farel menggeleng.
“Karena bintang sayang sama bulan”. Ujar Bia dengan senyuman kecil diwajahnya,
“Mama dan kak Kikan juga slalu ada di sisi Bia. Apa itu tandanya mama dan kak Kikan sayang sama Bia?”.
“Tentu Bi... mereka pasti sayang sama Bia....”.
“Tapi Papa nggak pernah ada di samping Bia Dok, padahal Bia kangen sekali dengan Papa yang dulu. Papa yang baik, yang selalu mengantar Bia ke sekolah, yang selalu cium pipi Bia kalau pulang sekolah. Tapi sekarang, Bia sakit aja Papa nggak pernah ada. Papa tak pernah ada di sisi Bia dok, apa itu berarti Papa tidak sayang sama Bia?” Bia menatap dokter Farel.
“Tidak Bi..., Papa kamu pasti sayang sama kamu, hanya saja mungkin beliau sedang sibuk”.
“Iya yah, Dok, Bia kan anaknya, tapi bagi Bia Papa mau sayang sama Bia apa tidak, itu tidak apa-apa. Asalkan Papa bisa sayang sama Mama dan kak Kikan, Dokter tahukan?” Dokter Farel lagi-lagi menggeleng. “Karena sebentar lagi Bia akan pergi, Bia nggak boleh bicara begitu”.
“Tapi itu yang Bia dengar dari Papa, kata Papa, hidup Bia tak lama lagi”.
Bia menunduk dalam, membiarkan air matanya menetes perlahan.
“Dokter tahu? Bia juga sayang sekali sama Mama, Papa dan kak Kikan, tapi Bia tak bisa selalu di samping mereka, apa mereka akan berpikir kalau Bia  nggak sayang sama mereka. Dokter harus bisa menyakinkan mereka, Bia nggak mau Mama, Papa dan kak Kikan berpikir kalau Bia pergi karena benci mereka. Dokter Farel mengangguk pelan. “Terima kasih ya Dok!” Bia tersenyum manis.

06 Oktober 2007
Hari ini adalah hari ulang tahun Bia, sebuah pesta kecil-kecilan telah disiapkan untuk Bia. Undangan pun telah tersebar. Bia sendiri sudah mengenakan gaun cantik berwarna biru, rambutnya yang panjang dikuncir, wajahnya tampak manis walau terlihat pucat.
Pukul 20.00 WIB, pesta pun dimulai. Seluruh teman-temannya ikut datang begitu pula Putra, bahkan dokter Farel dan Ibu Valita ikut menyempatkan diri untuk hadir. Tawa canda menggema dimana-mana mengisi sudut sepi rumah tersebut. Namun, itu semua tidak bisa menutupi goresan luka di wajah Bia. Sesekali dilihatnya, halaman yang sepi, berharap Papanya akan datang.
Tidak perlu dengan kado, cukup kehadiran Papanya di  hari ulang tahunnya. Mungkin ini adalah ulang tahun terakhir baginya. Perlahan hujan mulai turun, begitu pula air mata Bia. Sekarang ia benar-benar merindukan Papanya. Sesaat dilirik pesta ulang tahunnya yang masih berlanjut. Tiba-tiba entah kekuatan dari mana, ia berlari menerjang derasnya hujan malam ini.
Langkah-langkah kecil Bia terus melaju cepat. Rindunya pada sang ayah membuatnya tak peduli pada alam yang tampaknya tak bersahabat dengannya. Bia tahu tujuannya, ia tahu dimana ayahnya berada. Sekarang ia akan menemuinya. Menemui ayahnya yang hari ini dan hari yang lalu ada di rumah sahabatnya, Cinta.
Tok... tok.... tok “Bia mengetok rumah Cinta dengan lembut, perlahan-lahan pintu yang besar  itupun terbuka.
“Bia....!” pekik Cinta yang langsung mengundang perhatian Tuan Hanif dan Nyonya Viola.
“Bia... kamu ngapain? Sana  pergi...!!!” Cinta mendorong tubuh Bia. Tuan Hanif hanya tertegun. Ia masih belum bisa percaya gadis lemah seperti Bia masih bisa berlari sampai kerumah barunya.
“Pa... Papa.. hari ini Bia ulang tahun...!!!” ujar Bia di tengah derasnya hujan.
“Pa.. Bia kangen sekali sama Papa.. Bia mau main sama Papa lagi....!” ujar Bia dengan deraian air mata.
“Bia...!” teriak Nyonya Anggi. Kamu apa-apaan?” tanya Nyonya Anggi, seraya memayungi tubuh kecil Bia.
“Sudah Mama duga, pasti kamu pergi kesini, ayo pulang...!” Nyonya Anggi menarik tangan lembut Bia. “Ma... tapi Bia mau ketemu Papa...”
“Tapi jangan sekarang...”
“Kapan Ma kapan? Sampai Bia mati?” teriak Bia sesekali petir tampak menyambar. Seluruh tamu undangan Bia pun ikut datang ke rumah Cinta. Putra menatap Bia dengan matanya yang basah. Bagitu juga dokter Farel dan bu Valita.
“Udahlah Ma... Bia tahu waktu Bia tak lama lagi, dan Bia nggak mau menyia-nyiakan ini semua, Bia sayang sama semua orang tapi Bia harus pergi Pa. Bia sayang sama Papa, Cinta sama tante Viola dan semua orang yang ada disini. Dan di hari ulang tahun Bia, Bia mau bisa berkumpul sama Mama, Papa dan kak Kikan”.ujar Bia lagi. Dokter Farel menatapnya iba. Baru kali ini ia menemui pasien yang begitu tabah dalam menghadapi penyakitnya. Tiba-tiba kepala Bia terasa berat. Darah kembali mengalir deras bercampur dengan air hujan dan air matanya.
“’Bia....!!!” teriak Nyonya Anggi dan kak Kikan berbarengan.
“Jangan bawa Bia ke rumah sakit...! Bia mau disini, Bia mau ada di samping kalian” ujar Bia, semua tamu undangan mengerumuni tubuh Bia yang tidak berdaya, kecuali Cinta, Tuan Hanif dan Nyonya Viola tentunya.
“Apa Papa tega melihat Bia seperti ini?” tanya Kikan dengan emosi yang tinggi.
“Papa jahat... PAPA JAHAT...!!” teriak Kikan lagi. Tuan Hanif hanya terpaku, walau bagaimanapun nalurinya sebagai seorang ayah yang selalu ada, dan kini putri kecilnya tengah memanggilnya.
“Bia.... !! teriak Tuan Hanif, mata Bia yang hampir tertutup kembali terbuka. Ia tersenyum manis.
“Bia, maafkan Papa sayang” ujar Tuan Hanif. Bia tersenyum dan mengangguk. Perlahan-lahan matanya menutup rapat dan tak dapat terbuka lagi. Sang gadis periangpun menutup usianya.
“Tuan Hanif, ini dari Bia”. Ujar Dokter Farel. Dan ia pun menerima secarik kertas yang disodorkannya kemudian membacanya.




Buat Papa....
Pa... hari ini, hari ulang tahun Bia. Papa tahu apa permintaan terakhir Bia di hari ulang tahun ini? Bia mau ada Papa, Mama dan kak Kikan di sisi Bia. Papa boleh tidak sayang sama Bia, tapi Bia harap Papa bisa sayang sama Mama dan kak Kikan. Karena Mama dan kak Kikan juga sayang sama Papa. Kalau saja Bia minta sesuatu dan pasti dikabulkan Bia Cuma berharap Papa dan Mama bisa sama-sama  lagi. Pa, maafin Bia, Bia nggak bisa jadi yang Papa harapkan. Pa, Bia sayang sekali sama Papa, tapi Bia harus pergi jauh. Dah Papa.....
Dari Bia.




   Setetes air mata mengawali tetesan yang lainnya. Tuan Hanif terduduk di sisi jasad Bia yang sudah kaku tak bernyawa. Ia membelai lembut kepala putrinya. “Ma... Kikan... maafkan Papa ya!” pinta Tuan Hanif tulus. Nyonya Anggi menunduk dan membiarkan air matanya mengalir kemudian tersenyum mengangguk. Kikan pun terus tersenyum meski hatinya bagitu perih.
“Selamat jalan malaikat kecilku....!” ujar Dokter Farel dan Ibu Valita dengan senyum yang diiringi air mata haru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar