Jumat, 05 April 2013

Tiga Santri Sufi

            Tiga santri tuli tak dapat mendengar, sudah pasti kita bisa menerka, bila mereka bertemu lalu bicara tentang suatu perkara pasti tak akan nyambung. Syugifta si kutu buku, begitulah teman-teman se-asrama menjulukinya karena setiap hari ia tak lepas dari buku ditangannya. Lemarinya pun penuh dengan setumpuk buku. Faruk si tukang pinjem. Si Faruk ini ga boleh ngeliat temannya punya barang baru. Barri si khusyu’ karena si Barri rajin banget belajar ke masjid. Mereka semua tiga santri yang pendengarannya rada-rada normal.

Pada suatu kesempatan secara tidak sengaja mereka bertemu di bukit Gibas. Dari kejauhan Faruk melihat Syugifta sedang asyik membaca buku di bawah pohon mahoni. Faruk punya niatan ingin mendekati Syugifta. Sesampainya ia di hadapan Syugifta, Faruk berkata: “Gif..! khusu’ banget ente, dimana ada ente  pasti di situ ada buku dasar kutu buku ente”. Syugifta yang tahu sifat temannya itu langsung saja menjawab dengan nada tinggi,” Faruk! Bisa nggak ente ninggalin sifat buruk ente, coba jangan pinjem terus, sekali-kali beli! Ini buku Cuma satu. Ane belum selesai baca, kalau mau pinjem nanti aja kalau sudah ane baca semua”. Faruk berkata lagi” Gif, kemaren ane dari kopel (koperasi pelajar) beli pulpen dua, yang satu merek pilot satunya lagi merek Drawing Pen, ente mau nggak ane kasih yang Drawing Pen, sebab ane nggak bisa nulis pake pulpen cair?”. Spontan Syugifta berdiri angkat suara,” Faruk paham nggak ente tadi ane ngomong apa sama ente? Jangan pinjem buku ini sebab buku ini sedang ane baca!”
Melihat gelagat yang nggak beres, Faruk meluruskan ucapannya.” Maksud ane begini Gif, kitakan sudah lama berteman ente sering nolong ane, sekarang ane mau berbuat baik sama ente, ini pulpen baru ane beli dari kopel, biar bermanfaat ane mau kasih ke ente, terima dong kita kan shohib, ente jangan merasa terhina ane kasih pulpen, ini ni’mat dari Allah”. Syugifta semakin kesal melihat sikap Faruk, iapun berkata lagi: “Sekarang bagini aja kalau ente maksa ingin pinjem buku ini ane kasih ente duit seharga buku ini silahkan ente beli sendiri di kopel dan jangan ganggu ane lagi, ente tahu hukum orang yang memaksa dan mengganggu? Doooosa!.
Faruk tersinggung melihat Syugifta mengeluarkan uang disangkanya ia telah minta tolong pada Syugifta untuk bayarin pulpennya itu, ia pun berkata: “Gif, demi Allah ane ikhlas ngasih pulpen ke ente, ente nggak perlu bayarin pulpen ini”.
Disela-sela pembicaraan mereka, dengan tergopoh-gopoh lewatlah teman mereka, Barri namanya. Syugifta dan Faruk dengan sigap menghadangnya. Mereka meminta pendapat Barri tentang masalah yang mereka hadapi sejak tadi. Syugifta mengawali dengan pertanyaan, “Wahai Barri bagaimana pendapatmu bila ada seseorang meminjam sesuatu dengan cara paksa?”. Belum selesai pertanyaan Syugifta, Faruk menyelang dengan pertanyaan, “Wahai Barri bagaimana bila ada seseorang yang diberi shodaqoh lalu ia merasa terhina, kemudian ia hendak menggantikannya dengan sejumlah uang?”. Dengan tenang Barri menjawab, “Wahai saudaraku janganlah kalian berburuk sangka padaku karena kedatanganku ke sini ingin meminta maaf pada kalian atas barang-barang yang aku temukan di jalanan sana. Aku tahu kalian menghadangku karena melihat barang-barang yang ada di tanganku. Tadinya aku akan bawa barang ini ke Pak RT. Tapi karena aku sudah menemukan yang punyanya, maka inilah barangnya kukembalikan pada kalian”.
Keduanya terbengong-bengong melihat kelakuan Barri dan pada akhirnya, Syugifta memecahkan kebengongan mereka. “Faruk, contoh tuh si Barri!” sambil menunjuk ke arah Barri, “kalau ngasih sesuatu pada orang tidak pernah banyak bicara itu bukti bahwa dia ikhlas memberi”. Faruk pun tak mau kalah diapun angkat bicara. “Hei Gif, paham nggak ente maksudnya si Barri?, dia itu menitipkan barangnya pada kita dan kita harus menjaganya sebab ini adalah amanah, bila barang itu hilang atau rusak maka kita harus menggantinya”. Dengan ketus Syugifta menjawab, “Tidak bisa, aku yang diberi bukan kamu, enak saja kamu minta bagian dariku, sudah kukatakan padamu buang sifat serakahmu! Orang lain yang diberi kok kamu yang iri. Ingat ente, sifat iri dan serakah itu tercela”. Faruk mengangguk petanda setuju yang sebenarnya dia sendiri samar-samar mendengarnya. “Syukurlah kamu paham Gif kalau amanah itu harus dijaga”.
Setelah perdebatan yang tidak jelas juntrungnya, merekapun kembali ke pondok bersama-sama. Setibanya mereka di sebuah halaman asrama, mereka melihat Barri sedang ngobrol dengan kawan-kawannya. Teman-teman Barri tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita Barri. Bukan karena ceritanya yang lucu. Mereka tertawa karena sudah tahu bahwa jika Barri bercerita pasti nggak pernah nyambung. Itu tadi, rada-rada normal telinganya. Syugifta dan Faruk menghampiri mereka.
Barripun diam sejenak menghentikan ceritanya lalu beralih judul. Sambil mengarahkan pandangannya kepada dua temannya itu, Barri menyambut, “Teman-teman kita kedatangan dua sahabat yang baik mereka ini patut kita contoh”. Sejenak Barri terdiam kemudian melanjutkan omongannya sambil sedikit menitikkan air mata. Teman-teman Barripun terharu dan hanyut dalam perkataan Barri. “Aku belum bisa seperti mereka, mereka rajin, pintar bersahaja, baik di mata kita juga baik di hadapan Allah Ta’ala, sedangkan aku hanya bisa iri pada kebaikan mereka tanpa berbuat baik”. Dengan cekatan Faruk menyambut ucapan Barri, “Teman-teman apa yang dikatakan Barri itu memang benar dan kita butuh teman seperti Barri, cerita-cerita humor yang sehat yang telah kalian dengar tadi membuat kalian tertawa terpingkal-pingkal membuktikan bahwa Barri adalah teman yang selalu membuat kita gembira. Jarang sekali kita memiliki teman seperti dia, oleh sebab itu patut kita contoh dan kita ikuti. Adapun kesedihan yang nampak pada wajah Barri juga bukti keseriusan dia. Memang benar apa kata Barri kita harus banyak-banyak mengingat kematian, azab kubur dan api neraka. Tidak sepertiku, aku kalau bercerita tentang musibah yang menimpa orang lain aku masih bisa tersenyum. Betapa hinanya aku”.
Lain halnya dengan Syugifta, ia malah bercerita tentang buku yang ia baca, “Teman-teman ini ada buku bagus banget, judulnya “Sumbangan Pemerintah Untuk Pelajar”. Jadi, kalau teman-teman berminat untuk menerima sumbangan ini caranya mudah yaitu dengan mengisi formulir yang disediakan sekolah dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pemerintah. “Diantara mereka ada yang bertanya” Syugif, darimana kamu dapatkan buku itu?”, teman di sampingnya membisikkan yang bertanya, “percuma ente bertanya, nggak bakalan nyambung, kaya nggak tahu aja ente kuping dia”. Dengan sadar si penanya pun berkata, “iya juga ya, kenapa aku terhipnotis sama si Syugif?”. Dengan tenang Syugif menjawab, “ooooh, kalau saya tidak akan menerima sumbangan itu walaupun saya punya hak untuk menerimanya, sebab masih banyak teman-teman yang berhak menerimanya dan terlalu banyak yang menginginkan sumbangan itu. Lagi pula bukan aku tak butuh sumbangan, hanya orang bodoh yang tidak mau menerima sumbangan itu, bukan pula aku tak bersyukur adanya sumbangan itu. Untuk apa aku ambil sumbangan itu kalau membuat teman-teman iri dan terluka hatinya. Memang tujuan sumbangan itu untuk kesejahteraan para pelajar tapi, belum apa-apa kok sudah pada ribut? Sehingga hilang hikmah kesejahteraannya.”ngiung-ngiung.... bel telah berbunyi. Merekapun bubar pergi memasukinya kamarnya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar